Thursday 4 September 2014

CINTA NEGARAMU CINTA NEGARAKU (32) RAJA DAN RAKYAT BERPISAH TIADA


CINTA NEGARAMU CINTA NEGARAKU (32) RAJA DAN RAKYAT BERPISAH TIADA
TAULADAN Sri Sultan HB IX
tetap menjadi JIWANYA JOGJA
UnlikeUnlike ·  · 
H.H Haji Hassanal Bolkiah updated his cover photo.
1 hr · Edited · 
KEBERANGKATAN LAWATAN YTM PAIPA SARAH KE BIRD PARK KUALA LUMPUR
UnlikeUnlike ·  ·  · 17142


Kerajaan Mataram added 6 new photos.
di SINILAH ACAAR 1 SURO KERAMAT RITUAL secar AKBAR
IKUTI RITUAL KERAMAT di JOGJA - Tanggal : 24 dan 25 Oktober 2014
UNDANGAN TERBUKA
MENYAMBUT 1 SURO DI CANDI BOKO
Pendaftaran Hub.Frans Yoga Hananto HP : 085743755487+ Mbak ARUM 08122962959
NB. CATATAN : Harap bawa baju daerah masing-masing untuk dikenakan pada saat ritual.
Komunitas Spiritual Indonesia mengundang teman-teman untuk bersama-sama menyambut Satu Suro di Candi Boko, Yogyakarta. Selama dua hari berturut-turut, Jumat dan Sabtu, 24 dan 25 Oktober 2014. Anda semua diundang, walaupun belum pernah ikut dalam acara komunitas kita sebelumnya. Komunitas Spiritual Indonesia adalah paguyuban terbuka, siapa saja bisa bergabung, tanpa perduli latar belakang.
PENDAFTARAN DAN TRANSFER PEMBAYARAN:
Untuk mendaftar anda harus transfer pembayaran sebanyak @Rp 100 ribu per orang, ditransfer ke
Rek BCA No: 0372355237
Atas nama : Ch Dwi Eni
Setelah transfer pembayaran, bisa anda beritahukan melalui SMS kepada ketua panitia
LikeLike ·  · 
Mengungkap Sejarah Rembang - Tahun Saka 1337 dengan Candra Sengkala : Sabda Tiga Wedha Isyara.
Pada masa Kerajaan Majapahit, Rembang sebagai kota ataupun wilayah yang sudah berpemerintahan sendiri ataupun menjadi bagian dari suatu negara bagian Kerajaan Majapahit masih belumbisa di buktikan dengan jelas dan tepat. Hal ini di sebabkan sumber-sumber atau bukti-bukti tertulis yang menceritakan Rembang dalam aktifitas kota maupun pemerintah daerah tidak banyak di sebutkan. Berdasarkan sumber tertulis masa Majapahit, nama Rembang memang telah di sebutkan di dalam Kitab Negara Kertagama pada Pupuh XXI sebagai berikut: “…Menuruni surah melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Arnon dan Panggulan langsung ke payaman, Tepasana ke arah kota Rembang sampai di kemirakan yang letaknya di pantai lautan”.
Meskipun demikian, kota-kota pantai di Pantai Utara Jawa dari beberapa sumber baik di dalam maupun dari luar telah di sebutkan eksistensinya. Antonia Pigafetta, seorang pelaut dari Italia, yang pernah mengadakan perjalanan ke beberapa tempat di Indonesia, Dalam cacatan perjalanannya pada tanggal 26 Januari sampai 11 Pebruari telah menyebutkan beberapa nama kota di wilayah itu. Olehnya di dengar kabar, bahwa kota-kota penting yang terdapat dalam ilmu bumi, yaitu Majapahit, Mentraman, Djapara, Sedayu, Gersik, Surabaya, dan Bali.25
Nama Rembang bersama-sama dengan kota-kota pantai lainnya di Jawa juga muncul dalamsumber tertulis yang berasal dari Tome Pires. Disebutkan oleh Tome Pires, (1512-1515) antara lain : Now comesjava and we mustspeak of the King within the hinterland. The land of Cherimon (Cherobaan), the land Jayapura, the land of Losari (Locari), the land of Tegal (Tegeguall), the land of Semarang (Camaram), the land of Demak (Demma), Tidunan (Tudumar), the land of Japara, the land of Rembang (Remee), the land of Tuban (Toban), the land of Sidayu (Cedayo), the land of Gresee (Agacij), the land of Surabaya (Curubaya), the land of Gamta, the land of Blambangan, the land of Pajarakan (Pajarucam), the land of Camta, the land of Panaruakan (Panarunca), the land of Chamdy, and when is ended we will speak of the great island of Madura.
Sumber lain tentang Rembang di peroleh dari sebuah manuskrip/tulisan tidak di terbitkan oleh Mbah Guru. 27 Di sebutkan antara lain :”….kira-kira tahun Syaka 1336, ada orang Campa Banjarmlati berjumlah delapan keluarga yang pandai membuat gula tebu ketika ada di negaranya……”. Orang-orang tadi pindah untuk membuat gula merah yang tidak dapat di patahkan itu, berangkatnya melalui lautan menuju arah barat hingga mendarat di sekitar sungai yang pinggir dan kanan kirinya tumbuh tak teratur pohon bakau. Kepindahannya itu di pimpin oleh kakek Pow Ie Din ; setelah mendarat kemudian mengadakan doa dan semedi, kemudian di mulai menebang pohon bakau tadi yang kemudian di teruskan oleh orang-orang lainnya. Tanah lapang itu kemudian dibuat tegalan dan pekarangan serta perumahan yang selanjutnya menjadi perkampungan itu dinamakan kampung : KABONGAN, mengambil kata dari sebutan pohon bakau, menjadi Ka-bonga-an (Kabongan). …Pada suatu hari saat fajar menyising di bulan Waisaka, orang-orang akan memulai ngrembang (mbabat, Ind : memangkas) tebu. Sebelum di mulai mbabat di adakan upacara suci Sembahyang dan semedi di tempat tebu serumpun yang akan di kepras/ di pangkas dua pohon, untuk tebu “Penganten”. Upacara pengeprasan itu dinamakan “ngRembang sakawit”…begitu tadi asal mulainya kata : “ngRembang”, sampai di jadikan nama Kota Rembang hingga saat ini.., Menurut Mbah Guru , upacara ngRembang sakawit ini di laksanakan pada hari Rabu Legi, saat dinyanyikan Kidung, Minggu Kasadha, Bulan Waisaka,
LikeLike ·  · 
Menapaki Jejak Majapahit di Kajar, Lasem
Suwito (17), warga Desa Kajar, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, tidak pernah tahu secara detail kisah sejarah peninggalan Kerajaan Majapahit di Gunung Kajar, Pegunungan Lasem. Paling-paling siswa sebuah sekolah negeri di Lasem itu sebatas tahu nama dan letak lokasi peninggalan-peninggalan.
”Bapak dan Ibu tidak pernah cerita. Dahulu Kakek pernah cerita waktu saya masih kecil, tetapi sekarang sudah lupa. Di sekolah pun, sejarah lokal kurang mendapat perhatian,” kata Suwito yang turut menyaksikan kegiatan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Kabupaten Rembang menyusuri jejak-jejak Majapahit di Desa Kajar, Sabtu (15/8).
Desa Kajar terletak di lereng Gunung Kajar, salah satu bagian dari Pegunungan Lasem. Dari kota tua Lasem atau jalan pantai utara Lasem, desa dengan sumber air yang melimpah itu berjarak sekitar 7 kilometer ke arah selatan.
Desa Kajar mempunyai empat peninggalan Kerajaan Majapahit. Peninggalan itu berupa batu tapak kaki Raja Majapahit yang dikenal dengan watu tapak, goa tinatah, kursi kajar, dan lingga kajar. Peninggalan itu tidak mengumpul di satu tempat, tetapi tersebar di sejumlah titik Gunung Kajar.
Kisah di balik peninggalan itu tidak terlepas dari sejarah Kadipaten Lasem pada masa Kerajaan Majapahit. Berdasarkan laporan ”Rekonstruksi Sejarah Kadipaten Lasem” garapan MSI Kabupaten Rembang, Kadipaten Lasem muncul setelah Tribuwana Wijayatunggadewi membentuk Dewan Pertimbangan Agung atau Bathara Sapta Prabu pada 1351.
Salah satu anggota Dewan Pertimbangan Agung adalah Dyah Duhitendu Dewi, adik kandung Hayam Wuruk. Setelah menikah dengan anggota Dewan Pertimbangan Agung yang lain, Rajasawardana, Dewi Indu tinggal dan menjadi penguasa di Lasem dengan gelar Putri Indu Dewi Purnamawulan, yang kemudian dikenal sebagai Bhre Lasem.
Dalam Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya karya Slamet Mulyana, kisah Dewi Indu dan Rajasawardana tercatat di terjemahan Negarakertagama Pupuh V dan VI. Dalam Pupuh V Ayat 1 disebutkan, ”Adinda Baginda raja di Wilwatikta: Puteri jelita, bersemayam di Lasem Puteri jelita Daha, cantik ternama Indudewi Puteri Wijayarajasa”.
Begitu pula dalam Pupuh VI Ayat 1, ”Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana Laki tangkas rani Lasem bagai raja daerah Matahun Bergelar Rajasawardana sangat bagus lagi putus dalam naya Raja dan rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala”.
Dalam pupuh yang sama pada Ayat 3 disebutkan, ”Bhre Lasem Menurunkan puteri jelita Nagarawardani Bersemayam sebagai permaisuri pangeran di Wirabumi Rani Pajang menurunkan Bhre Mataram Sri Wikramawardana Bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra”.
Kawruh ajaran
Sejarawan Lasem, Slamet Widjaya, mengatakan, Lasem, khususnya Desa Kajar, merupakan salah satu daerah terpenting Kerajaan Majapahit. Desa Kajar merupakan tempat memberikan pengetahuan serta ajaran agama dan moral kepada para pejabat, panglima, dan prajurit Kerajaan Majapahit.
”Kajar merupakan kependekan dari ’ka’ yang berarti kaweruh (pengetahuan) dan ’jar’ yang berarti ajaran,” kata Slamet.
Menurut dia, bukan hal yang mengherankan jika pada 1354 Hayam Wuruk berkunjung ke Lasem dan Desa Kajar. Untuk mengenang kunjungan itu sekaligus sebagai prasasti tanda daerah kekuasaan Majapahit, Bhre Lasem membuat ukiran telapak kaki Hayam Wuruk di sebuah batu andesit di lereng Gunung Kajar.
Hingga kini, ukiran telapak kaki itu masih ada dan warga Desa Kajar meyakini ukiran itu sebagai bekas telapak kaki Hayam Wuruk. Warga kerap menyebut batu telapak kaki itu sebagai watu tapak.
Peninggalan-peninggalan lain Majapahit, seperti goa tinatah, kursi kajar, dan lingga kajar, juga menunjukkan peran penting Desa Kajar selama Majapahit berkuasa. Goa tinatah merupakan dua goa yang terletak di Gunung Kajar.
Goa pertama merupakan tempat menyepi pejabat atau panglima Majapahit. Goa itu hanya muat untuk satu orang. Goa kedua merupakan tempat para prajurit yang dibawa pejabat atau panglima Majapahit itu berjaga-jaga. Goa kedua itu dapat memuat sekitar 15 orang.
Setelah menyepi selama beberapa waktu di goa tinatah, pejabat atau panglima Majapahit itu disucikan dengan air Kajar. Dia duduk di sebongkah batu yang mirip kursi. Warga kerap menyebut kursi itu sebagai kursi kajar.
Selain itu, untuk menghargai Desa Kajar sebagai tempat yang membawa kesuburan bagi daerah lain karena banyak sumber mata air, Bhre Lasem membuat lingga berhuruf palawa di dekat lingga pada zaman batu dan salah satu mata air Kajar.
”Lantaran tidak terawat, huruf palawa di lingga itu sulit dibaca lagi. Begitu pula peninggalan-peninggalan Majapahit lain, misalnya kajar kursi, juga tidak terperhatikan. Batu itu tidak lagi menyerupai kursi karena telah hancur sebagian,” kata Ketua Umum MSI Kabupaten Rembang Edi Winarno.
Pelestarian sejarah
Untuk melestarikan situs Majapahit di Desa Kajar, Lasem, MSI berupaya mengajak warga sekitar dan guru turut menjaga situs sesuai dengan peran mereka masing-masing. Sebagai langkah awal, MSI menapak tilas peninggalan-peninggalan itu bersama 100 guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Sejarah di Rembang. ”Kami berupaya memperkenalkan studi sejarah lokal berbasis realitas kepada para guru. Harapannya, mereka dapat menerapkan metode itu kepada murid-muridnya,” kata Edi.
Selain itu, lanjutnya, MSI berupaya mendokumentasikan situs sejarah Majapahit tersebut. Dokumentasi itu merupakan salah satu materi rekomendasi MSI kepada Pemerintah Kabupaten Rembang.
MSI berharap Pemkab Rembang menjadikan situs Majapahit di Lasem sebagai laboratorium sejarah. Situs itu dapat pula menjadi tempat wisata penyusuran jejak-jejak peninggalan Majapahit di Lasem.
”Selama ini, tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa di Lasem ada peninggalan Majapahit. Pemkab pun selama ini kurang memedulikan aset sejarah dan wisata itu sehingga benda-benda di situs itu banyak yang tidak terawat,”
LikeLike ·  · 
Penguasa-penguasa dipang dan Blora yang selanjutnya
Kekalahan dan kematian Aria Panangsang ternyata telah memaksa sanak saudaranya yang, tidak ikut menjadi korban, menyingkir ke Surabaya. Dalam bagian berikut ini akan dibicarakan suatu pemberitaan yang berasal dari Palembang mengenai keturunan Jipang.
Sesudah Jipang direbut, raja Pajang menyerahkan wilayah itu kepada salah seorang anggota keluarganya untuk diperintah sebagai tanah/ daerah gaduhan, 'pinjaman'. Sesudah raja mangkat dalam usia lanjut pada tahun 1587, Jipang dijadikan tempat tinggal putranya, Pangeran Benawa, karena kota Kerajaan Pajang telah diduduki oleh Senapati Mataram (lihat Bab XIX-7).
Pada dasawarsa terakhir abad ke-16 daerah Jipang juga jatuh ke bawah kekuasaan raja Mataram (1591). Pada tahun 1598, raja bahkan memerintahkan orang-orang dari Pajang membangun kembali ibu kota Jipang dengan kerja rodi. Pada waktu itu Jipang merupakan daerah perbatasan antara daerah raja Mataram dan Surabaya.[10]
Pada abad ke-17 dan ke-18, Jipang dijadikan tempat kedudukan bupati yang mewakili raja-raja Kartasura dan Surakarta. Mereka menganggap dirinya keturunan Matahun. Dari sinilah berasal para patih Surakarta yang terkenal dalam abad ke-19, yang memakai nama Sasranagara dan Sasradiningrat.[11]
Yang masih perlu dijelaskan ialah bahwa menurut daftar tahun kejadian yang disebut babad sangkala, pada tahun 1554 atau 1556 raja Pajang telah mengirim ekspedisi bersenjata ke Blora (yang disebut pamblora). Jika diperkirakan kemenangan atas Aria Panangsang dari Jipang terjadi pada tahun 1549, maka lima tahun kemudian di Blora, tidak jauh dari Jipang, masih juga terjadi pemberontakan melawan kekuasaan maharaja baru di Pajang. Tidak ada keterangan yang dapat menunjukkan apakah yang berkuasa di Blora adalah anggota-anggota jalur Jipang dari keturunan Demak pula; hal ini tidak mustahil.[12]
LikeLike ·  · 
Menelusuri Jejak Peradaban Megalitikum di Blora
BLORA tak hanya dikenal dengan tahu lontong atau ledre dan sate. Di antero Blora juga tersimpan berbagai situs purbakala yang menakjubkan. Sebut saja situs fosil fauna purba, situs Wura-Wari, petilasan Kadipaten Jipang Panolan, dan terakhir ditemukan peradaban megalitikum(batu besar) di tengah hutan di wilayah Cepu.
Situs fosil hewan purba berada di Dukuh Kawung dan Singget, Desa Menden dan Dukuh Sunggun, Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora. Lokasi itu berada di tepian aliran Bengawan Solo dan berjarak sekitar 65 km arah selatan dari Kota Blora. Di lokasi itu ditemukan fosil kepala kerbau purba, kura-kura purba, dan gajah purba. Diperkirakan umur fosil antara 200.000 dan 300.000 tahun.
Situs Wura-wari berada di Desa Ngloram, Kecamatan Cepu, Blora. Haji Wura-Wari adalah penguasa bawahan (vasal) yang tahun 1017 Masehi menyerang Kerajaan Mataram Hindu (semasa Raja Darmawangsa Teguh). Situs yang ditemukan tim ekspedisi berada di tengah tegalan, di tepi persawahan, berupa tumpukan batu bata kuno berlumut yang kini dijadikan areal pemakaman. Sejak tahun 2000 telah dikumpulkan serpihan batu bata kuno berukuran 20 x 30 sentimeter dengan tebal 4 cm, serpihan keramik, serta serpihan perunggu yang kini disimpan di Museum Mahameru Blora.
Petilasan Kadipaten Jipang Panolan berada di Desa Jipang, sekitar delapan kilometer dari Cepu. Petilasan itu berwujud makam Gedong Ageng yang dahulu merupakan pusat pemerintahan dan bandar perdagangan Kadipaten Jipang. Di tempat itu juga terlihat petilasan Siti Hinggil, petilasan Semayam Kaputren, petilasan Bengawan Sore, dan petilasan masjid. Ada pula makam kerabat kerajaan antara lain makam R Bagus Sumantri, R Bagus Sosrokusumo, RA Sekar Winangkrong, dan Tumenggung Ronggo Atmojo. Di utara makam Gedong Ageng ada makam Santri Songo. Disebut begitu karena ada sembilan makam santri dari Kerajaan Pajang yang dibunuh prajurit Jipang karena dicurigai sebagai telik sandi atau mata-mata Sultan Hadiwijaya.
Jejak peradaban megalitikum ditemukan di Gunung Plontang di wilayah Pegunungan Kendeng Utara, tepatnya di Petak 5023KRPH Bleboh, BKHP Nanas, yang berada di KPH Cepu. Wujudnya fosil-fosil bersejarah dan sembilan makam batu. Di titik pertama di ketinggian sekitar 350 meter dari permukaan laut itu ada enam makam, satu di antaranya masih utuh. Di tempat lain ditemukan tiga makam yang antara lain ada yang masih lengkap berikut tutup makam.
Makam batu besar itu tak sebagaimana lazimnya makam zaman sekarang, khususnya makam Islam, dengan kepala di utara dan kaki selatan serta kepala menghadap kiblat. Di makam batu itu kepala ke arah timur dan kaki ke arah barat. Pemakaman seperti itu menganut konsepsi chtonis, yakni timur merupakan arah matahari terbit yang bisa diartikan sebagai awal kehidupan, sedangkan barat arah tenggelam matahari yang dimaknai akhir kehidupan.
Tak Mudah Dijangkau
Tempat penemuan makam kuno itu tidak mudah dijangkau. Berjarak sekitar 27 kilometer dari pusat kota, melewati perempatan Cabak di KPH Cepu. Jalanan di tengah hutan jati itu banyak berlubang. Bahkan tak sedikit di antara lubang jalanan itu yang dipenuhi air bak kolam.
Sekitar dua kilometer dari tempat penemuan makam batu besar, yang oleh masyarakat dikenal dengan kubur kalang, harus berjalan kaki melewati jalan setapak, melalui semak-semak penuh kerikil dan medan sangat berat. Bisa juga melewati dengan motor roda dua, namun harus ekstrahati-hati. Perjalanan dengan kendaraan bermotor roda dua itu pun tak bisa sampai ke tempat tujuan. Masih butuh waktu sekitar 15 menit jalan kaki melewati semak belukar.
beberapa makam batu selebar satu meter dan panjang 2,5 meter serta lebih kecil itu sudah tidak utuh. Kamituwa Desa Bleboh, Kecamatan Jiken, Ngetmiyanto, menuturkan makam itu tak utuh lagi karena ada bagian yang diambil orang-orang yang tak mengetahui bahwa itu peninggalan bersejarah. "Saya mendengar ada salah seorang warga mengambil lempengan batu besar dari makam ini untuk tempat shalat. Kalau memang harus diminta karena ini peninggalan bersejarah, saya akan memintanya baik-baik," ujarnya.
Aset Wisata
Makam batu besar masa peradaban megalitikum di Blora itu merupakan penemuan besar bernilai sejarah dan ilmu pengetahuan. Berdasar catatan sejarah, peradaban megalitikum ada sebelum Masehi (SM). Di Prancis, jejak peradaban itu sudah ditemukan pada 5.800 SM, Swedia 3.300 SM, Portugal 4.500 SM, Afrika 200 SM, dan India 800 SM. Selain berbagai negara itu, di Peru dan Bolivia, fakta sejarah megalitikum sudah ditemukan antara 2.500 dan 1.800 SM, Meksiko 110-600 SM, Korea 800-300 SM, dan Jepang 300 SM. Di Indonesia, beberapa peninggalan megalitik baru memberikan bukti keberadaan antara awal Masehi dan sekitar abad ke-17.
Aset sejarah itu dapat menarik wisatawan masuk ke Blora. Sebab, memang tak banyak daerah memiliki kekayaan sejarah seperti itu. Dengan berkunjung ke tempat itu, wisatwan dapat memperkaya pengetahuan tentang peradaban nenek moyang. Apalagi daerah yang melingkupi penemuan megalitikum itu masih alami dengan alam pedesaan dan hutan asri dan asli. Pengunjung dijamin betah menikmati alam pedesaan dan hutan alami.
Namun masih perlu penataan kawasan cagar budaya yang terjamin dan terlindungi, sehingga benda-benda cagar budaya itu tidak hilang atau dirusak orang. Yang terpenting, perlu membangun fasilitas umum dan memperbaiki infrastruktur jalan dan jembatan untuk mempermudah pengunjung menuju dan kemudian menikmati kawasan cagar budaya tersebut.
LikeLike ·  · 
Situs Kuno di Blora
Situs Fosil Fauna Purba
Lokasi situs fosil hewan purba terletak di Dukuh Kawung dan Singget, Desa Menden dan Dukuh Sunggun, Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora. Lokasinya berada di tepian daerah aliran sungai Bengawan Solo dan berjarak kurang lebih 65 km arah selatan dari Kota Blora. Di Lokasi ini telah ditemukan fosil Kepala kerbau purba, kura-kura purba, dan Gajah Purba. Diperkirakan umur fosil antara 200.000 – 300.000 tahun. Fosil ini awalnya ditemukan oleh penduduk kemudian diamankan oleh Yayasan Mahameru. Sekarang sedang diteliti oleh ahli anthropologi dari Bandung Fahrul Azis dan Team dari Wolongong University, Australia ,yang dipimpin Gertz Vandenburg.
Situs Wura-Wari
Lokasi Situs Wura-wari ini terletak di Desa Ngloram , Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora. Haji Wura-Wari adalah penguasa bawahan (vasal) yang pada tahun 1017 Masehi menyerang Kerajaan Mataram Hindu (semasa Raja Darmawangsa Teguh). Saat itu Kerajaan Mataram Hindu berpusat di daerah yang sekarang dikenal dengan Maospati, Magetan, Jawa Timur. Serangan dilakukan ketika pesta pernikahan putri Raja Darmawangsa Teguh dengan Airlangga, yang juga keponakan raja, sedang dilangsungkan. Membalas dendam atas kematian istri, mertua, dan kerabatnya, Airlangga yang lolos dari penyerangan dan tinggal di Wanagiri (di daerah perbatasan Jombang-Lamongan), akhirnya balik menghancurkan Haji Wura-Wari. Namun, sebelumnya Haji Wura-Wari terlebih dahulu menyerang Airlangga sehingga dia terpaksa mengungsi dan keluar dari keratonnya di Wattan Mas (sekarang Kecamatan Ngoro, Pasuruan, Jawa Timur). Serangan balik Airlangga, yang ketika itu sudah dinobatkan menggantikan Darmawangsa Teguh, ditulis dalam Prasasti Pucangan (abad XI) yang terjadi pada tahun 1032 M. Serangan itu pula yang memperkuat dugaan batu bata kuno berserakan di sekitar situs tersebut. Situs yang ditemukan tim ekspedisi berada di tengah tegalan, di tepi persawahan, berupa tumpukan batu bata kuno berlumut yang kini dijadikan areal pemakaman.. Sejak tahun 2000, telah dikumpulkan serpihan batu bata kuno berukuran 20 x 30 sentimeter dengan tebal sekitar 4 cm, serpihan keramik, serta serpihan perunggu yang kini disimpan di Museum Mahameru. Temuan di situs itu memperkuat isi Prasasti Pucangan bertarikh Saka 963 (1041/1042 Masehi) yang pernah diuraikan ahli huruf kuno (epigraf) Boechori dari Universitas Indonesia. Boechori menyebutkan, …Haji Wura-Wari mijil sangke Lwaram. Mijil mempunyai arti keluar (muncul dari). Hasil analisis toponimi (nama tempat), kemungkinan nama Lwaram berubah menjadi Desa Ngloram sekarang. “Pelesapan konsonan ’w’, penyengauan di awal kata, dan perubahan vokal ’a’ menjadi ’o’ menjadikan nama lama Lwaram menjadi Ngloram sekarang. Penjelasan seperti itu pula yang membantah berbagai pendapat terdahulu yang menyebutkan Haji Wura-Wari berasal dari daerah Indocina atau Sumatera sebagai koalisi Sriwijaya. Cepu memiliki data arkeologis, toponimi, dan geografis kuat untuk melokasikannya di tepian Bengawan Solo di Desa Ngloram.
Petilasan Kadipaten Jipang Panolan
Petilasan Kadipaten Jipang Panolan berada di Desa Jipang, sekitar 8 kilometer dari kota Cepu. Petilasannya berwujud makam Gedong Ageng yang dahulu merupakan pusat pemerintahan dan bandar perdagangan Kadipaten Jipang. Di tempat tersebut juga terlihat Petilasan Siti Hinggil, Petilasan Semayam Kaputren, Petilasan Bengawan Sore, dan Petilasan Masjid. Ada juga makam kerabat kerajaan, antara lain makam R Bagus Sumantri, R Bagus Sosrokusumo, RA Sekar Winangkrong, dan Tumenggung Ronggo Atmojo. Di sebelah utara Makam Gedong Ageng, terdapat Makam Santri Songo. Disebut demikian karena di situ ada sembilan makam santri dari Kerajaan Pajang yang dibunuh oleh prajurit Jipang karena dicurigai sebagai telik sandi atau mata-mata Sultan Hadiwijaya.
LikeLike ·  · 
SEJARAH BLORA
ASAL USUL NAMA BLORA
Menurut cerita rakyat Blora berasal dari kata BELOR yang berarti Lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama BLORA. Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah.. Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata.Sehingga seiring dengan perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH menjadi BALORA dan kata BALORA akhirnya menjadi BLORA. Jadi nama BLORA berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.
BLORA ERA KERAJAAN
Blora dibawah Kadipaten Jipang
Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang pada saat itu masih dibawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang. Daerah kekuasaan meliputi : Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir ( Hadiwijaya ) mewarisi tahta Demak pusat pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.
Blora dibawah Kerajaan Mataram
Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah Mtaram bagian Timur atau daerah Bang Wetan. Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719 ) daerah Blora diberikan kepada puteranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = � hektar ). Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.
Blora di Jaman Perang Mangkubumi (tahun 1727 - 1755)
Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi Raja di Yogyakarta. Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku Bumi menjadi Raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi Raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, diantaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.
Blora dibawah Kasultanan
Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama palihan negari, karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya
BLORA KABUPATEN
Blora sebagai Kabupaten
Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram Kabupaten Blora merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini disebabkan karena Blora terkenal dengan hutan jatinya. Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah Kabupaten pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA.Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.
Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan
Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu.. Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Penjajah sangat memberatkan bagi pemilik tanah ( petani ) . Di daerah-daerah lain di Jawa, kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti peristiwa Cilegon pada tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang petani dari Blora mengawali perlawanan terhadap pemerintahan penjajah yang dipelopori oleh SAMIN SURASENTIKO. Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal. Beberapa indikator penyebab adana pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah antara lain : Berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora Perubahan pola pemakaian tanah komunal pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunai corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidak adilan dan mengharapkan zaman emas yang makmur.
LikeLike ·  · 
Sejarah Kerajaan Majapahit pada era 1351 Masehi mewariskan empat peninggalan berupa batu tapak kaki Raja Majapahit yang dikenal dengan watu tapak, goa tinatah, kursi kajar, dan lingga kajar.
LikeLike ·  · 
PETIKAN WALL RATU RIMBA NIAGARA, KERAJAAN MATARAM & KDYMM SULTAN HASSANAL BOLKIAH
10 ZULKAEDAH 1435H
5 SEPTEMBER 2014 

0 comments:

Post a Comment

 
;