MIGRASI BUGIS -DARI PELAUT JADI RAJA(novel Christian Pelras-The Bugis)
Abad ke 17..Johor..Riau..Lingga..mulai di kuasai suku Bugis..yang berasal dari Makassar Sulawesi dari awalnya Pelaut,Bajak Laut,Serdadu Bayaran,,,,hingga menjadi Kerajaan Elit di Malaysia,Singapura..Riau..
Singapura di serahkan kekuasaannya ke Mr Lee Kuan Yew setelah Perang
Dunia Ke 2 oleh Perdana Menteri Malaysia yg Pertama Armahum Tengku Abd
Rahman 1965.Beliau trah Bugis..
Riau terpisah termasuk dalam
wilayah Indonesia..dan masih Raja Raja Riau dari hasil pernikahan
campuran Melayu/Bugis masih punya gelar.
Christian Pelras dalam
bukunya yang kesohor : The Bugis, bercerita tentang riwayat hidup
masyarakat Bugis dari awal abad pertama hingga abad kontemporer. Melalui
karyanya itu, Pelras menuturkan kehidupan masyarakat Bugis yang pada
mulanya merupakan masyarakat agraris, kemudian bermigrasi sejak jatuhnya
Makassar pada tahun 1666. Di perantauan, orang-orang Bugis terkenal
sebagai pelaut ulung, serdadu bayaran, dan penguasa kerajaan-kerajaan
Islam Nusantara. Peran dan kiprah mereka, telah mewarnai perjalanan
sejarah Indonesia, khususnya pada abad ke-18 dan 19 Masehi.
Dari Darat ke Laut
Bugis, salah satu dari tiga etnik di Nusantara (selain Banjar dan
Minangkabau) yang telah menempatkan manusia-manusianya di seberang
lautan sejak ratusan tahun lampau. Kepindahan masyarakat Bugis, lebih
disebabkan karena besarnya dorongan politik di Sulawesi Selatan, yang
merupakan kampung halaman mereka. Kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar yang
telah bersaing sejak abad ke-14, menciptakan ketegangan yang
berkepanjangan. Aliansi, ekspansi, dan peperangan yang berlangsung
ratusan tahun lamanya, mengundang petualang-petualang asing untuk ikut
bermain di dalamnya. Pemerintah Hindia-Belanda yang tahu keadaan ini,
menjadi pihak yang paling siap membantu salah satu kerajaan yang
bersaing.
Kisah terdiasporanya masyarakat Sulawesi Selatan ke
seluruh Nusantara, bermula dari kekonyolan Arung Palakka yang meminta
bala bantuan Hindia-Belanda. Ketika itu, kerajaan Bone yang dipimpinnya,
memang dalam keadaan terjepit. Di bawah kendali Sultan Hasanuddin,
kesultanan Gowa tetangga sekaligus pesaingnya, mencapai puncak
peradaban. Wilayahnya yang terus berkembang, mengancam eksistensi Bone
yang semakin rapuh. Di pihak lain, ekspansi dagang Gowa ke seberang
lautan, juga mengancam jaringan perdagangan Belanda di Indonesia Timur.
Keadaan ini menyebabkan, terjadinya aliansi Bone-Belanda di Sulawesi.
Kuatnya aliansi Bone-Belanda, berakibat pada jatuhnya benteng Makassar
ke tangan Kompeni. Keadaan ini semakin diperparah oleh Perjanjian
Bongaya (tahun 1666) yang melarang orang-orang Bugis pergi melaut.
Hingga usai Perang Makassar tahun 1669, seluruh wilayah Kesultanan Gowa
telah menjadi bagian dari Pax Nederlandica. Orang-orang Bugis-Makassar
yang tak puas dengan kondisi politik Sulawesi Selatan, memilih untuk
pergi merantau dan mengancam Belanda di perairan. Mereka bertekad, akan
melawan setiap kapal-kapal Belanda yang mereka temui di lautan.
Bajak Laut, Serdadu Bayaran, hingga Elit Kerajaan
Kapal Pinisi mengantarkan masyarakat Bugis mengarungi lautan
Menjadi bajak laut dan serdadu bayaran, merupakan dua profesi utama
perantau Bugis. Kiprah bajak laut dan perompak Bugis, agak samar-samar
terdengar. Di kalangan ahli dan sejarawan, eksistensi mereka sempat
menjadi perdebatan. Namun Bernard Vlekke, dalam bukunya : Nusantara,
Sejarah Indonesia, melukiskan keberadaan armada perompak Bugis yang
banyak berkeliaran di perairan Indonesia. Mereka bercokol di dekat
Samarinda, dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam
perang-perang internal antar-mereka. Walau kiprah lanun Bugis tidak
lebih hebat dari orang-orang Moro, namun serangan sporadis yang mereka
lancarkan, kerap menjadi momok menakutkan bagi perusahaan dagang Belanda
: VOC.
Reputasi mereka sebagai serdadu bayaran, juga dimanfaatkan
oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk memperluas jajahannya. Pada masa
Perang Paderi (1803-1838), selain orang-orang Ambon dan Madura, laskar
Bugis dikenal sebagai serdadu Belanda yang tangguh. Di Jawa, di bawah
pimpinan Karaeng Galesong dan Karaeng Naba, mereka berperang melawan
pasukan Trunojoyo membela boneka Belanda, Prabu Mangkurat II. Di Banten,
pasukan Bugis juga turut membantu Belanda membersihkan sisa-sisa
pengikut Sultan Ageng Tirtayasa.
Tahun 1722 huru hara besar terjadi
di Johor. Era ini menjadi awal mula serdadu bayaran Bugis berkiprah
dalam percaturan politik kerajaan-kerajaan semenanjung. Pada saat itu,
pasukan Bugis pimpinan Daeng Perani, menjadi tentara sewaan Bendahara
Abdul Jalil untuk merebut tahta Johor dari tangan Raja Kecil, seorang
pengelana asal Pagaruyung. Dalam peperangan itu, pasukan Bugis berhasil
memenangkan pertarungan, sekaligus menaikkan Abdul Jalil ke singgasana
Johor. Walau Abdul Jalil naik tahta, namun posisinya di kerajaan hanya
menjadi bayang-bayang Bugis. Pada masa selanjutnya, raja-raja Johor
justru banyak datang dari kalangan Bugis-Makassar.
Kerajaan Selangor
yang lahir pada abad ke-18, juga didirikan oleh seorang Bugis bergelar
Sultan Salehuddin Syah. Dari penelusuran silsilah raja-raja Bugis,
diketahui bahwa Salehuddin Syah atau Raja Lumu, merupakan keturunan
Daeng Cella, salah satu dari empat saudara Daeng Perani. Kedua
kakak-beradik itu, adalah cicit dari raja Luwu terkemuka,
Wetenrileleang. Melengkapi Lontara Akkarungeng yang sudah tua, kitab
Tuhfat al-Nafis karangan Raja Ali Haji, juga menceritakan kebesaran
Bugis di masa lampau.
Tun Abdul Razak dan Najib Tun Razak
Kini, banyak perantau Bugis telah beranak-pinak dan hidup makmur di
perantauan. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, sekurangnya 1 juta
orang keturunan Bugis bermukim di Kalimantan, 250 ribu orang tinggal di
Sumatra, dan 750 ribu orang menjadi warga negara Malaysia. Di antara
warga Malaysia, Tun Abdul Razak dan Najib Tun Razak, merupakan dua tokoh
Bugis paling cemerlang. Bapak beranak ini, sukses menjadi perdana
menteri Malaysia yang kedua dan keenam. Najib dalam kunjungannya ke Gowa
setahun nan lampau, mengemukakan bahwa dirinya adalah salah satu contoh
sukses perantau Bugis di Malaysia. Sebagai tanda bahwa dirinya
merupakan keturunan pelaut Bugis, di ruang kerjanya ditempatkan replika
kapal pinisi berukuran sedang. Baginya, kapal pinisi menjadi simbol
masyarakat Bugis dalam mengarungi lautan Nusantara
0 comments:
Post a Comment