(1) Wajib membaca hikayat sejarah semacam Sulalatus Salatin, Hikayat Patani, Hikayat Banjar, Negarakertagama. Semua sejarah dalam bentuk sastera ini sebenarnya sejarah yang boleh dianggap "sah".
(2) Mengumpul segala prosa sastera semacam pantun, syair, gurindam, hikayat sastera, peribahasa. Sebab leluhur kita memasukkan kearifan dan ilmu mereka dalam sastera sebagai wadah untuk diwarisi anak cucunya.
(3) Mendalami bahasa Melayu dan budaya kerana dengan itu baharulah kita akan mengerti tabiat leluhur kita.
Contoh tatacara mereka menegur raja: menggunakan 'bahasa kontas' atau perlambangan. Misal, jika mahu menasihati raja yang zalim maka cendiakawan Melayu akan mengarang kisah Sang Raja tetapi digambarkan sebagai adil dan saksama.
Lalu hikayat ini diserah para Raja untuk dibaca. Maka dari itu sedarlah Sang Raja akan tabiatnya.
Bahasa perlambangan juga banyak dipakai untuk hal-hal istana dan keputusan Raja. Macam dalam kisah pembinaan Tembok batu bernama Pinggir Raksa yang memisahkan Jawa kepada dua.
Tembok batu sehebat Tembok Besar Cina yang telah dilupa bangsa kita.
Terlalu banyak bahasa perlambangan dalam menceritakan proses membina tembok batu ini dan proses memisah kekuasaan Jawa kepada dua negara.
Kalau tidak memahami bahasa perlambangan maka kita akan anggap catatan sejarah itu sebagai dongeng!
Sempat saya menganyam puisi:
PINGGIR RAKSA
Kapan cuping ditiup sebuah nama:
"Pinggir Raksa"!
Mungkinkah sedari masa Erlangga atau baru sahaja?
Aduh!
Bagaimana tembok raksasa itu menjadi asing pada kita?
Bangsa pendiri tidak mengerti binaannya sendiri,
Tak tersisa dan tak tersiar sebuah khabar,
Tak terhimbau malah tak termimpi:
Setelah Lime Arabicus dan Tembok Besar Cina,
Pinggir Raksa adalah yang ketiga,
Dialah pengaman jagatraya diantara dua kota- Janggala dan Panjalu Kadiri,
Dari pantai selatan menyembah ke kaki Gunung Kawi,
Oh!
Tembok agung itu telah kabut dalam kabus,
Menurut takdir yang mengulit sebuah lagi Raksa di samudera,
Sirna kerna dilupa,
Itu lebih durjana dari runtuh ditabrak musuh.
[Kuala Lumpur, 9 Feb 15]
Catatan Tentang Tembok Gergasi Melayu - Pinggir Raksa:
Dari catatan "Babad Tanah Djawi" ditulis oleh L. Van Rijckevorisel (Directeur Normaalschool Muntilan) dengan dibantu oleh R.D.S. Hadiwidjana (Guru Kweekschool Muntilan)
"Karsané Sang Prabu besuk ing sapengkeré kang gumanti jumeneng Nata putrané loro pisan, mulané kratoné banjur diparo: Jenggala (sabageyaning: Surabaya sarta Pasuruwan) lan Kedhiri. Déné kang minangka watesé: pager témbok kang sinebut "Pinggir Raksa", wiwit saka puncaking Gunung Kawi, mangisor, nurut kali Leksa banjur urut ing brangloré kali Brantas saka wétan mangulon tekan ing désa kang saiki aran "Juga", nuli munggah mangidul, terusé kira kira nganti tumeka ing pasisir. Gugur gugurané tembok iku saiki isih ana tilasé, kayata ing sacedhaking kali Leksa, sakulon lan sakiduling kali Brantas, ing watesing afd. Malang lan Blitar".
Terjemahan:
"Sesuai titah sang Prabu, sepeninggal dia maka yang naik jadi raja adalah dua orang putranya serentak; maka keraton dibahagikan jadi dua bahagian;Jenggala (Surabaya & Pasuruan) dan Kediri. Sebagai beza batasnya adalah pagar tembok yang disebut "Pinggir Raksa", mulai dari puncak Gunung Kawi ke bawah, sepanjang alur Kali Leksa terus mengikuti Kali Brantas dari timur ke barat hingga desa yang dinamai "Juga", kemudian naik ke selatan hingga pesisir selatan. Bekas tinggalan tembok tersebut masih ada, seperti di dekat kali Leksa, di sebelah barat dan selatan Kali Brantas di perbatasan kota Malang dan Blitar.
Prabu Erlangga yang memerintah Medang, beribu negara di Kahuripan menghadapi polimik perebutan kuasa antara dua anak lelakinya:
1) Mapanji Garasakan: anak sulung dan hasil perkahwinan dengan gundik, anak "mufti" negara, Pendita Terep yang ber mazhab Siva.
Sang guru agung inilah yang berjasa menempatkan kembali Prabu setelah dia terusir dahulu dari Watan Mas.
Dan seluruh keluarga pendita telah mengabdikan diri membantu Prabu dalam mempertahankan Medang.
Hingga jawatan Panglima Negara dipimpin oleh Mapanji Tumanggala, anak pendita sekaligus bapa saudara Mapanji Garasakan.
Maknanya keluarga Pendita Terep sangat dominan di Medang dan kekuatan ketenteraan turut dimiliki oleh mereka.
2) Sri Samarawijaya: anak ketiga mengikut urutan, dan anak lelaki pertama dari Dewi Lakshmi, puteri Maharaja Darmawangsa Teguh.
Maka Sri Samarawijaya adalah anak gahara sekaligus mengikut sistem raja Melayu, hanya anak gahara yang layak menggantikan raja.
Jalur keturunan wangsamaju Isana menganut mazhab Vishnu, termasuklah Sang Prabu dan Sri Samarawijaya.
Maka Prabu Erlangga pun memindahkan ibukota dari Kahuripan kepada Daha, yang kota itu telah dipersiap lama sebelum perpindahan dilakukan.
Lalu tugas membelah kerajaan diserahkan kepada Pendita Buddha Mahayana; bukan dari agama Hindu Siva atau Hindu Vishnu.
Kisah ini disebut dalam Prasasti Mahaksobhya bertarikh 1289M yang dikeluarkan Raja Kertanagara, maharaja terakhir negara Tumapel. Menulis bahawa pendeta agung Aryya Bharada mendapat tugas membelah pulau Jawa menjadi dua bahagian dengan menggunakan air mancur dari kendi. Juga disertai kutukan bagi siapapun yang berani melintasi batas yang telah ditentukan.
Sedangkan Prapanca menulis dalam pupuh 68 Negarakertagama, menggunakan bahasa perlambangan yang tersirat:
"Suatu ketika Sri Nata Panjalu Daha Maharaja Erlangga berkehendak membelah tanah Jawa lantaran cinta pada kedua putranya. Tersebutlah seorang pendeta Buddha Mahayana yang putus dalam kitab tantra dan yoga, bermukim di tengah kuburan Lemah Tulis, sosok yang senantiasa menjadi pelindung rakyat, ketika mengunjungi pulau Bali hanya berjalan kaki, tenang menapak permukaan lautan. Mpu Bharada namanya, sosok yang paham tiga zaman. Girang beliau menyambut permohonan Maharaja Erlangga supaya membelah Negara. Maka perbatasan Negara ditandai dengan air kendi yang mancur dari angkasa. Dari barat ke timur sampai lautan. Lalu dari utara ke selatan. Daerah selatan yang jaraknya tidak begitu jauh bagaikan terpisah samudera besar. Di daerah selatan itu sang pendeta turun dari angkasa, berhenti di atas pohon Kamal, berniat menaruh kendi suci di Desa Palungan untuk mengakhiri penentuan garis batas kerajaan. Tetapi sebelum menginjak tanah, sang pendeta murka lantaran jubahnya terkait puncak pohon kamal yang tumbuh menjulang tinggi. Mpu Barada terbang ke angkasa lagi lalu mengutuk pohon Kamal menjadi pandak atau kerdil. Itulah tugu batas gaib yang tidak boleh dimasuki kekuasaan Panjalu dan Janggala. Itulah sebab mengapa sekarang dibangun candi. Tujuannya supaya menyatukan tanah Jawa kembali. Dengan demikian semoga baginda prabu serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada, Berjaya memimpin Negara yang kini sudah kembali bersatu-padu".
Hasilnya terwujud dua negara: Janggala dan Panjalu yang dipisahkan oleh tembok batu. Agar aman dari peperangan dua saudara yang mewakili dua mazhab berbeza.
0 comments:
Post a Comment