Friday 19 August 2011

SASTRA KALIMANTAN SELATAN INGIN BERKONGSI ILMU SASTRA

ARUH SASTRA KALIMANTAN SELATAN: MENEMUKAN POLA ARUS SUNGAI SASTRA
oleh Dimas Arika Mihardja pada 25 Juli 2011 jam 12:00

ARUH SASTRA KALIMANTAN SELATAN: MENEMUKAN POLA ARUS SUNGAI SASTRA *)



INI catatan ringan sebagai bahan untuk sebuah iven sastra
"Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII di Barabai Kabupaten Hulu Sungai
Tengah, 16--19 September 2011. Catatan ringan ini sengaja dibuat
selagi ada kesempatan, dan tentu saja perlu masukan dan saran dari
pembaca budiman demi sesuatu yang lebih bermanfaat dan mendatangkan
martabat bagi pergerakan sastra. Catatan ringan ini menggunakan frame
reference “orang luar” Kalimantan Selatan. Catatan yang dibuat
di atas sampan yang menyusuri Kota Seribu Sungai ini berusaha
menemukan pola arus sungai sastra di Banua Mura Kata. Dalam mengenali
pola arus sungai sastra, dayung perlu diarahkan untuk
(1) melacak jejak, (2) masalah yang ditemui, dan
(3) merumuskan arus sungai sastra.


Jejak Arus Sastra Sastrawan Kalsel


Catatan 1: Jejak Sejarah

Dalam perspektif historis, jejak arus sastra Kalsel tentu seirama
dengan kiprah sastrawan pelahirnya. Kiprah sastrawan Kalsel tentu
memhasilkan genre seperti (1) puisi, (2) cerpen, (3) novel,
(4) kritik sastra, dan (5) drama. Nomor urut ini tampaknya
merupakan mainstream jejak arus sastra Kalsel. Genre puisi
mendominasi arus sastra Kalsel, bahkan meronai setiap periode
masa waktu sejak era Pujangga Baru hingga periode kekinian.
Urutan kedua cerpen, lalu disusul novel, kritik sastra dan drama.
Kecenderungan serupa ini tampaknya bukan semata-mata terjadi
di Kalsel, melainkan juga di tempat-tempat lain.
Khusus untuk historisitas kiprah sastrawan Kalsel pada pelaksanaan
Aruh Sastra yang lalu tentu telah dijadikan wacana. Oleh karena itu,
saya cukup tahu diri untuk tidak menggarami lautan yang begitu luas.
Hal yang patut dikemukakan di sini, sastrawan Kalsel selalu eksis
di setiap decade penulisan kreatif sastra sejak pujangga Baru
hingga saat ini.


Kalimantan Selatan memiliki sastrawan-sastrawan yang kreatif
dan eksis dengan karya-karya sastranya yang tidak kalah kualitasnya
dengan karya para sastrawan luar Kalsel. Karya para sastrawan Kalsel
baik secara kuantitas maupun kualitas tidak hanya hadir sebagai khasanah
lokal (Kalsel), tetapi juga memberi kontribusi bagi masyarakat dan
perkembangan sastra Indonesia modern. Bila ada anggapan bahwa Kalsel
adalah gudang sastrawan, hal itu tak bisa dimungkiri dan stigma
itu masih melekat hingga hari ini.


Catatan 2: Peristiwa, Forum, dan Komunitas

Even-even sastra seperti forum diskusi atau temu sastrawan juga marak
diselenggarakan di berbagai kota dan kabupaten di wilayah Kalsel.
Forum sastra paling monumental di era 1980-an adalah Fo-rum Penyair
Muda 8 Kota se-Kalimantan Selatan 1982, yang digagas oleh komunitas
penyair bernama Himpunan Penyair Muda Banjarmasin (HPMB). Iklim bersastra
yang terbilang kondusif dan bergairah pada dekade 80-an dan 90-an tersebut
boleh dikata merupakan era kebangkitan sastra Kalsel dengan ledakan-ledakan
kreativitas yang telah berimplikasi melahirkan sejumlah sastrawan dengan
kapasitas intelektual dan kegigihan idealisme yang cukup penting diperhitungkan
pada khasanah sastra Indonesia.


Dekade 90-aan dan 2000-an walaupun iklim bersastra di Kalsel tidak sesemarak
dekade sebelumnya, namun denyut kehidupan dan kegairahan para sastrawan untuk
berkarya masih tetap terasa dan tidak pernah mengalami stagnasi atau kemandekan.
Para sastrawan terkini dari generasi 2000-an yang sedang berproses,
kreatif serta produktif dan mulai bermunculan ikut menyumbangkan bentuk,
warna dan pengucapan literer, dan mereka pun bersemangat merayakan kreativitas
bersastra, bersaing bersama sastrawan generasi 1990-an serta disokong oleh
sastrawan dari generasi 1980-an dan beberapa dari generasi 1970-an yang masih
menunjukkan vitalitas berkarya berupa puisi, cerpen, dan esai sastra yang
menyertakan beberapa perempuan muda memiliki potensi.


Kesusastraan Indonesia mutakhir di Kalsel , selain tumbuh secara individual,
juga tumbuh secara kolektif yang memunculkan komunitas budaya atau komunitas
sastra. Tumbuhnya komunitas sastra yang diklaim sebagai lahirnya “pusat-pusat”
pergerakan sastra baru ini berbarengan dengan ramainya polemik tentang
“marjinalisasi” sastra Indonesia dan peran para sastrawan akibat sistem
penunjang kreativitas yang sangat tidak memadai. Tumbuhnya komunitas-komunitas
sastra ini tak dimungkiri menimbulkan pula konsekuensi interpretatif beragam
baik positif maupun sinisme. Tercatat ada komunitas yang tumbuh dari komite
sastra di Dewan Kesenian Kalsel, bidang seni sastra di Badan Koordinasi
Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Kalsel, dan Himpunan Sastrawan Indonesia
(HIMSI) Kalsel serta cabang-cabang HIMSI di berbagai kota dan kabupaten –
khususnya Banjarmasin sebagai ibu kota provinsi, sudah memiliki komunitas
sastrawan bernama Himpunan Penyair Muda Banjarmasin (HPMB), Kelompok Studi
Sastra Banjarbaru, dan lainnya, merupakan fenomena tersendiri bagi perjalanan
dan persentuhan proses kreatif kepenyairan Kalsel.


Di Banjarmasin berdiri Bengkel Sastra Banjarmasin, Sanggar Sastra Mandiri,
Busur Sastra dan Teater Balambika (BSTB), Lingkaran Sastra Mozaika, Forum
Diskusi Sastra Poetica (bermarkas di Taman Budaya Kalsel), Keluarga Penulis
Banjarbaru, Dapur Seni Amandito (Kota Banjarbaru), Sanggar Marta Intan
(Martapura, Kabupaten Banjar), Posko La Bastari (Kandangan, Kabupaten Hulu
Sungai Selatan), Sanggar Sastra Sukmaraga (Kabupaten Hulu Sungai Utara),
Sanggar Sastra Mandastana, Sanggar Riak-riak Barito (Kabupaten Barito Kuala),
Sanggar Anggrek Harivi (Kabupaten Tanah Laut), Pusat Olah Seni Sastra Kotabaru,
Sanggar Bamega 88 (Kabupaten Kotabaru), dan Himpunan Penulis, Pengarang dan
Penyair Nusantara (HP3N) Korwil Kalsel. Dari puluhan organisasi komunitas
yang berbentuk formal maupun nonformal ini sebagian besar juga tinggal nama
alias bubar tanpa alasan yang jelas.

Dekade 1990-an hingga 2000-an, bermunculan pula komunitas-komunitas
sastra di berbagai kantong budaya yang pertumbuhan dan perkembangan
sastranya cukup meriah. Seperti di kota Banjarbaru berdiri komunitas
Kilang Sastra Batu Karaha, Forum Taman Hati, Kelompok Studi Sastra
Banjarbaru, Front Budaya Godong Kelor, Rumah Sastra Pelanduk, serta
Sanggar Ar Rumi dan Sanggar Matahari, X-Pas Borneo (ketiganya di kota
Martapura, kabupaten Banjar), dan beberapa komunitas sastra lainnya,
baik yang berjalan sendiri maupun berkelompok. Sederet komunitas yang
frekuensi kegiatan bersastranya cukup tinggi di beberapa kampus perguruan
tinggi negeri maupun swasta dan bermunculannya Sanggar Sastra Siswa Indonesia
(SSSI) di beberapa sekolah menengah atas di Kalsel yang diprakarsai majalah
sastra Horison, juga tak bisa diabaikan perannya. Namun dalam perjalanannya,
di antara komunitas ini hanya beberapa yang mampu bertahan hidup hingga hari ini.


Catatan 3: Pola Pergerakan Aruh Sastra, Sebuah Ilustrasi

Menurut wawasan Ali Syamsudin Arsy (Salah seorang yang jadi motor
penggerak Aruh Sastra di Barabai) ada tiga pola pergerakan aruh sastra,
yakni tahap praaruh, tahap saat aruh, dan pascaaruh. Tahap awal adalah pra-aruh;
berpeluang untuk 'mempersiapkan segala sesuatu yang akan ditemui pada 'saat-aruh',
'mempersiapkan' ini bukan hanya panitianya, tetapi persiapan semua komponen-elemen
masyarakatnya, yang berhubungan langsung dengan jenis-jenis karya sastra itu sendiri
maupun yang hanya merupakan dampak dari terselenggaranya aruh itu sendiri, persiapan
bukan hanya kasak-kusuk persoalan dana yang akan dihabiskan, ambil satu contoh kata
'pelayanan'; akankah terlayani segala-sesuatu yang diperlukan oleh para tamu nantinya,
sigap, mandiri, tidak semua bertumpu pada sang ketua, pendelegasian tugas wewenang
dengan memahami batas-batasnya masingmasing, satu contoh ini saja bukan hal yang mudah,
padahal yang masuk dalam kategori 'mempersiapkan' wah seabrek-segunung-gunung
(cara pikir manusia indonesia saat ini adalah dengan ucapan, "akh, gampang saja nanti,
akh bisa aja dia nanti... dsb dsb," Padahal (?!!!), tidak semudah itu) Apalagi bila
melibatkan yang memang orang-orang belum memahami konsep dunia-dalam sastra dan sastrawan
(seniman), nah untuk ini saja bukan main kata mempersiapkan itu harus terancang,
jadi di segi kepanitiaan sangat memerlukan yang dinamakan 'pasukan khusus' dan akan
lebih baik dilakukan dalam waktu panjang, dalam berkali-kali simulasi, biasanya
'orang-orang teater' sangat serasi-sejalan dalam pemikiran ini. 'Mempersiapkan'
masyarakat luas agar mau membuka mata terhadap pentingnya keberadaan sastra itu
di tengah mereka, karena kelahiran atau keberadaan sastra sebenarnya berasal dari
dalam masyarakat itu sendiri.

Tahap kedua adalah saat-aruh, (oke coba simak kembali poin-poin yang telah
disusun oleh Yessika Susastra di atas) sebenarnya semua elemen di atas harus
ikut terlibat dari awal sampai berakhirnya acara, satu contoh, pejabat yang
akan dipercaya membuka atau memberikan kata sambutan, setelah habis kesempatan
(mungkin hanya 20-30 menit bergabung, setelah itu langsung hilang dan tidak
pernah lagi kembali) ini isyarat bahwa sebenarnya orang-orang tersebut tidak
betah berada lama berbaur dan saling membuka persoalan apa yang harus disampaikan-
diterimakan, inilah saat yang tepat berbaur tanpa pembatas, dibatasi oleh
'waktu'lah, oleh 'acara' di lain tempatlah, akh akh, datang dan meninggalkan
luka menganga saja, sastra-sastrawan pada saat seperti ini juga memerlukan
sikap apresiasi yang tinggi dari para panutan pejabatnya, para pemimpinnya,
sastrawan sadar bahwa mereka tetap memiliki pemimpin, tetapi bukan untuk
menjauh darinya, bukan hanya janji-janji dalam kata sambutannya tetapi
kata 'mengapresiasi' itu terikat dalam sama merasakan, bila ada yang memang
perlu dikoreksi maka koreksilah, itu sudah disiapkan wadahnya dalam bentuk
Dialog atau Seminar atau apapun gaya dan tatacaranya, sastrawan yang datang
bukan untuk hanya mendengarkan kata sambutan, tetapi 'penerimaan' dan 'melayani'
itulah pada dasarnya, yang 'melayani' bukan pada 'panitia saja' tetapi seluruh
elemen masyarakatnya termasuk tentu pimpinan tertingginya, siapkan waktu untuk
agenda itu dari awal hingga berakhirnya, para sastrawan datang bukan hanya untuk
berdialog dengan sesama sastrawan saja tetapi kepada masyarakat seluruhnya sebagai
tuan rumah dengan cara integrasi karya dan karena sastra itu lahir dari dalam
masyarakat itu sendiri maka fungsi-manfaat serta keberadaan sastra itu haruslah
kembali kepada masyarakatnya semula, di sinilah diperlukan 'jembatan-penghubung'
antara karya sastra dengan pembaca.

Tahap ketiga, adalah tahap paling penting, yaitu pasca-aruh, secara garis besarnya
adalah aruh sastra (atau apapun sebutannya, temu, pertemuan, ajang dll dll) pada
dasarnya 'mempersiapkan masyarakat'nya agar setelah usai agenda aruh itu gairah,
aktifitas, bersastra menjadi bagian dari hidup dan kehidupannya; yang akan melandasi
tatacara hidup dan kehidupan berbangsa bernegara; kita pasti cinta indonesia.

Idealnya, saat aruh sastra bermuara berbagai persoalan yang terkait dengan geliat
sastra dan masalahnya.Berbagai pihak penggiat sastra ada baiknya menyumbulkan peta
permasalahan di daerahnya masing-masing, sehingga suatu ketika, melalui Aruh Sastra,
dapat disusun proyek besar peta masalah dan solusiny. Terkait dengan hal ini Ali
Syamsudin Arsy berharap agar derah-daerah seperti di Barabai ada Fahmi yang sangat
tahu persoalan di sana(akhir-akhir ini boleh jadi merangkap juga untuk wilayah Balangan),
di Amuntai ada Fahruraji, Hasby Salim, dkk, di Pelaihari ada Jamal TS, di Marabahan
ada Ibramsyah Amandit, Rock Syamsuri, Syarkian Noor Hadi, dkk, Tanjung ada Bacco,
Lilies, (terakhir Setia Budhi di sana), di Tapin ada A.Kusairi, Bram dkk, di Kandangan
ada Burhanuddin Soebly, Aliman, Iwan Yusi, dkk, di Tanah Bumbu ada Andi Jamaluddin Ar Ak,
Karim, dkk, di Kotabaru ada Eko Suryadi, Gonzales, Najwa, dkk, di Banjarmasin ada Tarman,
Tajuddin, Agus, Hajri, dkk. Nah berharap agar yang sudah aktif ini semakin meningkat
karya-berkaryanya dan mampu menampilkan yang baru dengan segala kedinamisannya
sendiri-sendiri, termasuk bermunculan penulis-penulis perempuan, (secara pribadi saya
berkeinginan nama-nama penulis yang terpampang di rak-rak buku banyak perpustakaan kita
adalah nama-nama dari dalam banua sendiri, silahkan teliti pada banyak perpustakaan kita
nama-nama yang ada oh oh maafkan saja) ini persoalan yang harus diselesaikan oleh satu
atau dua titik saja tetapi pula merupakan mata rantai yang akan melibatkan banyak pihak;
penentu kebijakan maukah melahirkan payung hukum ke bawahnya agar antusias dan hasrat
serta kegairahan itu menjadi perayaan besar-bersama-sama, adakah dimasukkan secara nyata
dalam setiap anggaran belanja daerah tentang penyediaan buku-buku itu, adakah langkah
nyata pembelian-pembelian buku-buku yang terencana dan berkesinambungan dari tahun
ke tahun, terbaca dengan jelaskah itu, adakah bentuk-bentuk apresiasi nyata kepada
penulis urang banua dan itu terbaca jelas dalam setiap program, pernahkah di dalam
setiap pelaksanaan aruh sastra ada pembelian buku-buku oleh instansi pemerintah atau
bermitra sebelum penerbitan buku-buku itu untuk mengisi rak-rak pustaka di kantor-kantor
(sementara jawaban pastinya adalah = Belum pernah ) bahkan yang paling sering adalah
adanya sikap "menagih, mana buku jatahku, gratis" akh, keterlaluan sekali kau bah !!!
tapi sudahlah, semoga ini hanya sebagian pemikiran masa lalu saja, dan kini semoga
ada yang melakukan terobosan positif, contohnya secara langsung saya alami di Banjarbaru
pernah suatu malam saya ditanya,"Berapa Asa menjual buku Gumam itu?", kemudian saya jawab,
"25 ribu Bang," sambil senyum dan berharap ada pembelian secara nyata,"Ini ada 250.000,-,
tolong antarkan ke rumah," seraya menyerahkan uang itu secara tunai dan tidak banyak pikir,
 "Makasih Bang," balasku (sebenarnya saat itu saya terharu dan berdebar juga dada ini,
begitu besar penghormatannya), sesampainya di rumah langsung dibungkus buku yang
dipesan dan besok harinya saya antar ke rumah beliau, itu baru satu orang, lalu
bagaimana dengan sikap pemerintah yang dalam hal ini dihuni oleh para pejabat
dengan tingkat pemikiran yang luar biasa hebat (apalagi sudah banyak yang menyandang
gelar s2, bahkan s3, bahkan rangkap sssssssssss, wah sangat sangat sangat luar biasa
hebatnya), nah ini hanya satu contoh kecil saja dan maaf berkaitan persoalan pribadi saya,
bagaimana dengan pribadi yang lain dalam konteks sastra-bersastra dan kesastraan yang
lebih luas, boleh jadi sama tapi tak serupa atau bahkan sangat jauh berbeda


Catatan 4: Langkah Strategis

Upaya menebar benih sastra dan meningkatkan minat berkarya sastra sebenarnya telah
banyak dilakukan oleh kawan-kawan di Kalsel, baik melalui dunia perbukuan, dunia blog,
komunitas dan pergerakan individual sastrawan. Dunia perbukuan misalnya, dapat dicatat
kegilaan Arsyad Indradi menerbitkan buku fenomenal bertajuk Antologi Penyair Nusantara
142 Penyair Menuju Bulan (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru) dan puluhan buku lainnya.
Selain itu, Hamamy Adaby menerbitkan buku puisi bahasa Banjar dan bahasa Idonesia,
Ali Syamsuddin Arsy secara fenomenal menawarkan esstetika baru untuk urusan menulis
puisi melalui buku-buku serial Gumam-nya yang juga fenomenal, Micky Hidayat dengan
Meditasi Rindu-nya, Hamberan Syahbana dengan apresiasinya, dan tentu saja banyak
buku beredar dari kalangan sastrawan Kalsel. Selain dunia buku, blog menjamur dan
tumbuh berkembang di Kalsel. Blog ini tidak saja menjadi dokumen, melainkan juga
telah mewarna dunia sastra dengan dinamikanya sendiri. Terakhir, hal yang turut
menyangga dinamika sastra di kalsel adalah akivitas kelompok sastra yang mengusung
aneka nama komunitas sastra.

Langkah strategis dalam upaya menebar benih sastra dan meningkatkan minat berkarya
sastra perlu dilakukan secara bersama-sama oleh stakeholders, seperti dikemukakan
dalam poin-poin berikut:

Stakeholders seni budaya (Gubernur, angota DPRD, instansi seni, dan seniman serta
budayawan) perlu bersinergi menyatukan langkah dan persepsi untuk membina dan
mengembangkan potensi seni sastra. Pembina seni sastra perlu menyusun program
peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui berbagai kegiatan sarasehan,
seminar, pelatihan, dan bimbingan teknis. Dalam upaya pembinaan seni sastra
ini kiranya perlu dimksimalkan peran lembaga atau organisasi sastra yang
dapat mewadahi kiprah sastrawan dan masyarakat dalam berkarya. Masuk dalam
pembinaan ini perlu didirikan sekolah seni, baik tingkat sekolah menengah
maupun sekolah tinggi.

Materi pembinaan meliputi sastra yang berakar pada budaya daerah dan berssinergi
dengan seni arsitektur, seni batik, seni tari, seni musik, seni teater, seni kerajinan,
seni desain grafis, seni film, seni rupa, dan seni budaya tradisi di setiap daerah
di kabupaten di Kalimantan Selatan.
Pembina seni sastra seyogianya dapat memainkan peranannya masing-masing dan secara
bersama-sama memajukan seni sastra ke kancah yang lebih luas (regional, nasional,
internasional) dengan prinsip think globaly, act localy (berwawasan global,
bertindak lokal) seperti falsafah di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
Pelaku seni sastra terus berkarya. Aktivitas pelaku seni sastra ini perlu difasilitasi
sepantasnya. Pelaku seni sastra ini meliputi organisasi seperti sanggar seni dan
aktivitas individual sastrawan. Pelaku ini dalam melaksanakan aktivitasnya perlu
dukungan perhatian dan financial yang memadai dan pemberian penghargaan khusus bagi
pelaku seni dan budaya oleh pemerintah adalah merupakan hal yang sepantasnya.

Jalur pendidikan formal dan nonformal, termasuk pelatihan dan sanggar kerja
yang terjdwal penting pula dijadikan tumpuan dalam menebar benih dan ,inat
berkarya sastra.

Aruh Sastra, sebagai iven yang telah mentradisi dan merupakan bertemunya
stakeholders yang terkait dengan minat berkarya sastra kiranya mampu memainkan
peranannya secara lebih efektif dn signifikan.

Dunia sastra kini, sejalan dengan paradigma yang telah mengglobal, yakni fenomena
dunia maya seperti banyaknya blogger, facebokers, twitter, dan grup-grup penulisan
kreatif, maka upaya menebar benih sastra dan meningkatkan minat berkarya sastra
dapat dilakukan di situs jejaring sosial, apalagi banyak tokoh sastrawan yang
memanfaatkan akun ini untuk melakukan "pembinaan" dan apresiasi bagi para
pendatang baru di dunia penulisan kreatif.
Tujuan akhir paradigma sastra adalah perilaku. Pendidikan sangat sentral untuk
membentuk paradigma ini sejak dini, untuk mengarah pada pemahaman dan menumbuhkan
daya cipta, mendukung penciptaan insan yang cerdas ESQnya, untuk menghadapi dan
bersesuaian dengan lingkungan dari waktu ke waktu, maka peran pendidikan formal
dan nonformal tidak dapat diabaikan. Siswa dan mahasiswa adalah ujung tombak
dalam pembinaan minat berkarya sastra.

Satu upaya yang senantiasa dilakukan secara terus-menerus ialah bagaimana
menjaga kontinyuitas dan kualitas berkarya.

Tiba saatnya kita berkepentingan untuk meningkatkan budaya minat baca, minat
beli buku, minat menulis, dan minat menjadi warga yang bangga terhadap sastra.

Catatan 5: Penutup

Saya akan bersyukur jika catatan singkat meloncat-loncat ini tidak digugat,
melainkan dilengkapi oleh tuan dan puan yang terhormat. Sekian, terima kasih.

*) Kertas Kerja yang insyaallah disajikan untuk merangsang diskusi
July 28 at 6:21pm · Unlike · · Unsubscribe

You, Mahabbah El-ahMead and 4 others like this.

Kony Fahran Betul acara semaca, Aruh sastra di Kaltim tengah dirancang Pak
Korrie Layun Rampan. Oh ya, Roh Adie...arti dari kata Aruh, sama seperti
Erau di Tenggarong Kaltim, maknanya kenduri massal. Kalau di Banjar aruh
itu sama dengan selamatan.

July 28 at 6:51pm · Unlike · 2 people

Mahmud Jauhari Ali Full kita sama belajar sepanjang hayat. tak ada sastrawan
hebat atau sastrawan pemula di sini. kata pak Dimas Arika Mihardja: 123
sayang semuanya ....

July 28 at 7:33pm · Unlike · 1 person

Urangbanjar Sedunia semua sastrawan sama aja lah, yang tuha dan nang anum,
sama haja. Cuman mun sdh mencetak buku karyanya tebanyak sastrawan nang
diam di Jawa dan Jakarta itu klo lah,

July 28 at 8:02pm · Unlike · 1 person

Idrisboi Boiboi Assalamualaikum. Apa saja yang tercetus oleh minda yang
jernih bernama kebaikan pasti ia ilmu yang bermanfaat. memberi kesejahteraan
kepada jasmani dan rohani.

July 29 at 9:58am · Unlike · 1 person

Jaya Ramba Wulan saya mulai faham cerita dan kisahnya

July 29 at 1:04pm · Like · 1 person

Rabeah Mohd Ali Apa yang disampaikan boleh mencetuskan evolusi sastra yang
akan dibanggakan oleh segenap lapisan rakyat sesebuah negara terutama
di Indonesia dan juga Malaysia.

July 29 at 4:06pm · Like · 1 person

Jauhari Ali Full ?Urangbanjar Sedunia, mencetak buku pribadi atau antologi
bersama? wah jadi ingat melayu sedunia, hehe. sila layari laman ini ya:
http://melayuonline.com/ind/opinion/read/237/sastrawan-kalsel-biografi-
jumlah-dan-masalahnya Sastrawan Kalsel: Biografi, Jumlah, dan Masalahnya |
Melayu Online melayuonline.com
Oleh: Mahmud Jauhari Ali Kata sastrawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi ketiga merupakan lema yang tergolong nomina dengan beberapa makna
di dalamnya. Makna-makna itu adalah ?ahli sastra?, ?pujangga?, ?pengarang
prosa dan puisi?, ?(orang) pandai-pandai?, dan ?cerdik ...

July 29 at 6:02pm · Like ·

Mahmud Jauhari Ali Full ?Idrisboi Boiboi, wa 'alaikumussalam wa rahmatullahi
wa barakatuh.

July 29 at 6:04pm · Like

Mahmud Jauhari Ali Full Jaya Ramba Wulan, alhamdulillah jikau dikau
mulai memahaminya. salam takzim dariku untuk dikau di sana .... :)

July 29 at 6:05pm · Like

Mahmud Jauhari Ali Full ?Rabeah Mohd Ali :)

July 29 at 6:06pm · Like


(PETIKAN DARIPADA DIALOG RUMAH SASTRA BORNEO)
29 Julai 2011

0 comments:

Post a Comment

 
;